Paus Fransiskus sebagai Person of The Year 2013 oleh majalah Time

Baru 9 bulan menjabat, Paus dipilih menjadi Tokoh Terpilih 2013

Selamat Datang di Gereja Katolik Blog

Gabunglah di Twitter kami: https://twitter.com/Katolik_ku

Selamat Datang di Gereja Katolik Blog

Terimakasih atas kunjungannya, semoga blog ini bermanfaat untuk meningkatkan iman Katolik kita.

Selamat Datang di Gereja Katolik Blog

Terimakasih atas kunjungannya, semoga blog ini bermanfaat untuk meningkatkan iman Katolik kita.

Selamat Datang di Gereja Katolik Blog

Terimakasih atas kunjungannya, semoga blog ini bermanfaat untuk meningkatkan iman Katolik kita.

Selamat Datang di Gereja Katolik Blog

Terimakasih atas kunjungannya, semoga blog ini bermanfaat untuk meningkatkan iman Katolik kita.

Selamat Datang di Gereja Katolik Blog

Terimakasih atas kunjungannya, semoga blog ini bermanfaat untuk meningkatkan iman Katolik kita.

Selasa, 20 Agustus 2013

POJOK KELUARGA (Studi Kasus): Janda-Duda Cerai mau Menikah Katolik

Photo: POJOK KELUARGA (Studi Kasus)

Janda-Duda Cerai mau Menikah Katolik

Romo Erwin, saya ingin menanyakan kasus sahabat saya, seorang janda yang bercerai dari suaminya. Janda ini menikah di Gereja Kristen dan mempunyai satu anak. Mereka bercerai secara sipil. Janda ini hendak menikah secara Katolik dengan duda cerai. Sang duda sudah pernah menikah secara Kristen dan Islam dan sudah bercerai juga. Apakah pernikahan ini mungkin? Apakah mereka masih dapat di layani di Gereja Katolik? Terima kasih atas pencerahan Romo.

Elsoli, Medan

Bapak Elsoli yang baik, terima kasih atas pertanyaan Bapak. Sebagai jawaban awal, saya menegaskan bahwa perkawinan mereka hampir pasti sulit diterima oleh Gereja, mengingat sejarah keduanya mempunyai kesulitan dalam perkawinannya. Perkawinan salah satu pihak yang cerai hidup saja akan menjadi masalah, apalagi dalam hal ini kedua pihak pernah mempunyai catatan perceraian.

Kedua pihak yang beriman Katolik pernah menikah di luar Gereja secara tidak sah (orang Katolik menikah tidak sah jika menikah di luar Gereja Katolik). Pernikahan ini saja membuat keduanya terpisah dari Gereja Katolik, karena terkena eksko munikasi yang disebabkan oleh perkawinan tidak sah mereka.

Meskipun tidak sah secara Katolik, tetapi perkawinan pihak perempuan (janda), perkawinan yang tidak sah secara Katolik, adalah sah secara Kristen, dan dengan demikian menjadi perkawinan yang dianggap sah juga karena perempuan ini menjadi anggota Gereja Kristen. Karena sudah keluar dari Gereja Katolik, dengan demikian perkawinan itu sah secara Protestan dan dianggap sah secara Katolik juga.

Sahnya perkawinan pihak perempuan ini berarti, jika ia mau menikah dengan seseorang dari Gereja Katolik, maka perkawinannya membuatnya terhalang. Ia tidak bisa menikah secara Katolik, karena perkawinannya sudah sah. Gereja tidak memperhitungkan perceraian dari perkawinan yang sudah sah, kecuali karena kematian.

Perkawinan pihak laki-laki (duda dua kali) juga mempunyai permasalahan yang sama. Perkawinan yang kedua tidak diperhitungkan. Cukup perkawinan yang pertama, sudah membuat ia terhalang untuk menikah lagi secara Katolik. Ia juga sudah terekskomunikasi karena perkawinan pertamanya. Maka, perkawinan kedua ini juga sah secara Protestan dan dianggap sah oleh Gereja Katolik. Dengan demikian, pihak laki-laki tidak bisa lagi menikah secara Katolik.

Situasi perkawinan kedua pihak sangat membingungkan dan rumit, maka pernikahan kedua pihak dalam Gereja Katolik juga menjadi sulit. Pertama, mereka harus menyelesaikan masalah ekskomunikasi karena menikah secara tidak sah. Kedua, mereka mempunyai sejarah perkawinan dan perceraian yang buruk, sehingga pernikahan mereka yang baru akan sangat berisiko perceraian lagi jika kurang berhati-hati.

Perkawinan yang berada di luar Gereja memang bisa diceraikan, tetapi ketika harus “berurusan” lagi dengan Gereja Katolik, halnya menjadi sulit.

Karena mereka beragama Katolik, maka pemahaman akan perkawinan keduanya harus diperdalam. Perceraian dari perkawinan di luar Gereja memang lebih mudah, tetapi tidak memberi jaminan menikah di Gereja Katolik mengingat Gereja sangat menghormati ikatan perkawinan agama lain. Melalui “lubang-lubang hukum”, mungkin perkawinan ini dapat diselesaikan, tetapi saya melihat ada risiko dari perkawinan baru mereka, jika dilangsungkan secara Katolik. Pertama, karena pemahaman yang kurang baik tentang kesetiaan, dan yang kedua, tentang pemahaman kesetiaan dalam iman Katolik yang buruk. Perkawinan ini membutuhkan pertobatan penuh kedua pihak yang menikah..

Pastor Alexander Erwin Santoso MSF
Ketua Komisi Kerasulan Keluarga KAJ - HidupKatolik.com
--Deo Gratias--

#PojokKeluarga
#Perkawinan

Romo Erwin, saya ingin menanyakan kasus sahabat saya, seorang janda yang bercerai dari suaminya. Janda ini menikah di Gereja Kristen dan mempunyai satu anak. Mereka bercerai secara sipil. Janda ini hendak menikah secara Katolik dengan duda cerai. Sang duda sudah pernah menikah secara Kristen dan Islam dan sudah bercerai juga. Apakah pernikahan ini mungkin? Apakah mereka masih dapat di layani di Gereja Katolik? Terima kasih atas pencerahan Romo.

Elsoli, Medan

Bapak Elsoli yang baik, terima kasih atas pertanyaan Bapak. Sebagai jawaban awal, saya menegaskan bahwa perkawinan mereka hampir pasti sulit diterima oleh Gereja, mengingat sejarah keduanya mempunyai kesulitan dalam perkawinannya. Perkawinan salah satu pihak yang cerai hidup saja akan menjadi masalah, apalagi dalam hal ini kedua pihak pernah mempunyai catatan perceraian.

Kedua pihak yang beriman Katolik pernah menikah di luar Gereja secara tidak sah (orang Katolik menikah tidak sah jika menikah di luar Gereja Katolik). Pernikahan ini saja membuat keduanya terpisah dari Gereja Katolik, karena terkena eksko munikasi yang disebabkan oleh perkawinan tidak sah mereka.

Meskipun tidak sah secara Katolik, tetapi perkawinan pihak perempuan (janda), perkawinan yang tidak sah secara Katolik, adalah sah secara Kristen, dan dengan demikian menjadi perkawinan yang dianggap sah juga karena perempuan ini menjadi anggota Gereja Kristen. Karena sudah keluar dari Gereja Katolik, dengan demikian perkawinan itu sah secara Protestan dan dianggap sah secara Katolik juga.

Sahnya perkawinan pihak perempuan ini berarti, jika ia mau menikah dengan seseorang dari Gereja Katolik, maka perkawinannya membuatnya terhalang. Ia tidak bisa menikah secara Katolik, karena perkawinannya sudah sah. Gereja tidak memperhitungkan perceraian dari perkawinan yang sudah sah, kecuali karena kematian.

Perkawinan pihak laki-laki (duda dua kali) juga mempunyai permasalahan yang sama. Perkawinan yang kedua tidak diperhitungkan. Cukup perkawinan yang pertama, sudah membuat ia terhalang untuk menikah lagi secara Katolik. Ia juga sudah terekskomunikasi karena perkawinan pertamanya. Maka, perkawinan kedua ini juga sah secara Protestan dan dianggap sah oleh Gereja Katolik. Dengan demikian, pihak laki-laki tidak bisa lagi menikah secara Katolik.

Situasi perkawinan kedua pihak sangat membingungkan dan rumit, maka pernikahan kedua pihak dalam Gereja Katolik juga menjadi sulit. Pertama, mereka harus menyelesaikan masalah ekskomunikasi karena menikah secara tidak sah. Kedua, mereka mempunyai sejarah perkawinan dan perceraian yang buruk, sehingga pernikahan mereka yang baru akan sangat berisiko perceraian lagi jika kurang berhati-hati.

Perkawinan yang berada di luar Gereja memang bisa diceraikan, tetapi ketika harus “berurusan” lagi dengan Gereja Katolik, halnya menjadi sulit.

Karena mereka beragama Katolik, maka pemahaman akan perkawinan keduanya harus diperdalam. Perceraian dari perkawinan di luar Gereja memang lebih mudah, tetapi tidak memberi jaminan menikah di Gereja Katolik mengingat Gereja sangat menghormati ikatan perkawinan agama lain. Melalui “lubang-lubang hukum”, mungkin perkawinan ini dapat diselesaikan, tetapi saya melihat ada risiko dari perkawinan baru mereka, jika dilangsungkan secara Katolik. Pertama, karena pemahaman yang kurang baik tentang kesetiaan, dan yang kedua, tentang pemahaman kesetiaan dalam iman Katolik yang buruk. Perkawinan ini membutuhkan pertobatan penuh kedua pihak yang menikah..

Pastor Alexander Erwin Santoso MSF
Ketua Komisi Kerasulan Keluarga KAJ - HidupKatolik.com
--Deo Gratias--

‪#‎PojokKeluarga‬
‪#‎Perkawinan‬

POJOK KELUARGA: Terlanjur Sayang Pacar Beda Iman

Photo: POJOK KELUARGA

Terlanjur Sayang Pacar Beda Iman

Romo Benny, saya wanita berusia 34 tahun. Sekarang, saya bingung karena telah menjalin hubungan erat dengan orang lain iman. Saya sadar, hubungan ini tidak mungkin bisa bersatu. Saya berusaha menghindar tapi saya menyayangi dia. Bagaimana Romo, apa yang harus saya lakukan? Terima kasih.

MN, Jakarta

Saudari MN yang terkasih.

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja jauh lebih terbuka pada agama lain dan para penganutnya (lih LG 15-16), namun hal ini sama sekali tidak mengecilkan nilai iman Katolik. Sebagai orang Katolik, kita perlu mencatat bahwa nilai iman Katolik tetap dijunjung tinggi dan umat Katolik diperingatkan oleh Bunda Gereja untuk tetap setia pada imannya (bdk LG 14). Hal ini bukan saja berlaku umum, namun juga harus mempengaruhi sampai pada perkara-perkara praktis seperti perkawinan beda agama yang mungkin sedang menjadi bahan pertimbangan Anda dalam menjalin relasi dengan orang yang berbeda iman tersebut.

Memang perasaan sayang sering membuai kita, sehingga kita tidak dapat melihat permasalahan dengan lebih jernih. Oleh karena itu, saya mengajak Anda untuk dengan tenang memikirkan baik-baik konsekuensi hubungan Anda dengan lelaki itu, jika bermuara pada perkawinan.

Perkawinan campur beda agama mengandung risiko yang besar pada penghayatan iman kita. Memang orang tidak serta-merta kehilangan imannya, namun penghayatan imannya bisa terganggu. Salah satu risiko adalah pemahaman tentang perkawinan itu sendiri. Bagi orang Katolik, perkawinan itu monogami dan tak terceraikan. Bagi orang beragama lain, belum tentu perkawinan dimaknai demikian. Jika suatu hari kelak ada persoalan besar, misalnya saja pasangan Anda ingin berpoligami, apakah kita dapat memaksakan nilai perkawinan Katolik pada pihak lain yang berbeda iman? Tentu tidak bisa dan tidak semudah itu. Hal ini bisa sangat menyulitkan perjalanan perkawinan Anda.

Sekarang, marilah kita berpikir lebih jauh lagi. Andaikan saja Anda berdua dianugerahi anak-anak, tentu sebagai orang Katolik yang baik kita diwajibkan untuk membaptis dan mendidik anak-anak dalam iman kita. Nah, sekarang, anak-anak itu milik siapa? Bukankah milik kalian berdua? Apakah pihak lain tidak boleh juga memasukkan dan mendidik anak-anak kalian dalam imannya? Kemudian siapa berhak atas siapa? Menjadi rumit, bukan?

Seandainya iman anak-anak diserahkan kepada Anda, tetap saja anak-anak membutuhkan suasana beriman yang kondusif, bukan? Bayangkan, ketika Anda bersama-sama merayakan kesyahduan malam Natal, ayah dari anak-anak ini tidak ada dan tidak mau merayakannya. Anak-anak pasti merasakan kehilangan besar.

Lalu, bagaimana Gereja memandang perkawinan campur? Secara hukum, Gereja menyatakan perkawinan campur beda Gereja sebagai larangan nikah (kan 1124), namun untuk perkawinan campur beda iman Gereja nyatakan sebagai halangan nikah (kan 1086). Secara hukum, halangan nikah lebih berat. Hukum Gereja melarang perkawinan beda Gereja, namun menghalangi perkawinan beda agama.

Nah, Saudari MN, demikianlah beberapa pemikiran yang perlu Anda pertimbangkan baik-baik sebelum mengambil keputusan yang amat penting dalam kehidupan Anda. Pemikiran ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam kelanjutan menjalin relasi dengan orang yang Anda sebutkan. Berdoalah kepada Allah Roh Kudus, Sang Sumber Kebijaksanaan, agar Ia membimbing Anda dalam membuat keputusan yang bijaksana. Tuhan Yesus memberkati!

Pastor Dr Benny Phang OCarm - HidupKatolik.com

Tambahan Penjelasan oleh Bapak H Gregorius Tinenti:
Harus dibedakan antara LARANGAN dan HALANGAN. Adanya LARANGAN karena (Misalnya: td dikatakan di atas perkawinan beda Gereja) masih adanya kesatuan dalam hal iman atau sama2 percaya pada Kristus. LARANGAN hanya butuh IZIN dari hierarki Gereja setempat (Uskup atau pastor paroki), sedangkan HALANGAN butuh DISPENSASI dari pengadilan Gereja. Disebut HALANGAN karena ada bahaya untuk meninggalkan iman. Sehingga dikatakan bahwa HALANGAN lebih berat dari pada LARANGAN.

--Deo Gratias--

#PojokKeluarga #OrangMudaKatolik #Pacaran #Pernikahan

Romo Benny, saya wanita berusia 34 tahun. Sekarang, saya bingung karena telah menjalin hubungan erat dengan orang lain iman. Saya sadar, hubungan ini tidak mungkin bisa bersatu. Saya berusaha menghindar tapi saya menyayangi dia. Bagaimana Romo, apa yang harus saya lakukan? Terima kasih.

MN, Jakarta

Saudari MN yang terkasih.

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja jauh lebih terbuka pada agama lain dan para penganutnya (lih LG 15-16), namun hal ini sama sekali tidak mengecilkan nilai iman Katolik. Sebagai orang Katolik, kita perlu mencatat bahwa nilai iman Katolik tetap dijunjung tinggi dan umat Katolik diperingatkan oleh Bunda Gereja untuk tetap setia pada imannya (bdk LG 14). Hal ini bukan saja berlaku umum, namun juga harus mempengaruhi sampai pada perkara-perkara praktis seperti perkawinan beda agama yang mungkin sedang menjadi bahan pertimbangan Anda dalam menjalin relasi dengan orang yang berbeda iman tersebut.

Memang perasaan sayang sering membuai kita, sehingga kita tidak dapat melihat permasalahan dengan lebih jernih. Oleh karena itu, saya mengajak Anda untuk dengan tenang memikirkan baik-baik konsekuensi hubungan Anda dengan lelaki itu, jika bermuara pada perkawinan.

Perkawinan campur beda agama mengandung risiko yang besar pada penghayatan iman kita. Memang orang tidak serta-merta kehilangan imannya, namun penghayatan imannya bisa terganggu. Salah satu risiko adalah pemahaman tentang perkawinan itu sendiri. Bagi orang Katolik, perkawinan itu monogami dan tak terceraikan. Bagi orang beragama lain, belum tentu perkawinan dimaknai demikian. Jika suatu hari kelak ada persoalan besar, misalnya saja pasangan Anda ingin berpoligami, apakah kita dapat memaksakan nilai perkawinan Katolik pada pihak lain yang berbeda iman? Tentu tidak bisa dan tidak semudah itu. Hal ini bisa sangat menyulitkan perjalanan perkawinan Anda.

Sekarang, marilah kita berpikir lebih jauh lagi. Andaikan saja Anda berdua dianugerahi anak-anak, tentu sebagai orang Katolik yang baik kita diwajibkan untuk membaptis dan mendidik anak-anak dalam iman kita. Nah, sekarang, anak-anak itu milik siapa? Bukankah milik kalian berdua? Apakah pihak lain tidak boleh juga memasukkan dan mendidik anak-anak kalian dalam imannya? Kemudian siapa berhak atas siapa? Menjadi rumit, bukan?

Seandainya iman anak-anak diserahkan kepada Anda, tetap saja anak-anak membutuhkan suasana beriman yang kondusif, bukan? Bayangkan, ketika Anda bersama-sama merayakan kesyahduan malam Natal, ayah dari anak-anak ini tidak ada dan tidak mau merayakannya. Anak-anak pasti merasakan kehilangan besar.

Lalu, bagaimana Gereja memandang perkawinan campur? Secara hukum, Gereja menyatakan perkawinan campur beda Gereja sebagai larangan nikah (kan 1124), namun untuk perkawinan campur beda iman Gereja nyatakan sebagai halangan nikah (kan 1086). Secara hukum, halangan nikah lebih berat. Hukum Gereja melarang perkawinan beda Gereja, namun menghalangi perkawinan beda agama.

Nah, Saudari MN, demikianlah beberapa pemikiran yang perlu Anda pertimbangkan baik-baik sebelum mengambil keputusan yang amat penting dalam kehidupan Anda. Pemikiran ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam kelanjutan menjalin relasi dengan orang yang Anda sebutkan. Berdoalah kepada Allah Roh Kudus, Sang Sumber Kebijaksanaan, agar Ia membimbing Anda dalam membuat keputusan yang bijaksana. Tuhan Yesus memberkati!

Pastor Dr Benny Phang OCarm - HidupKatolik.com

Tambahan Penjelasan oleh Bapak H Gregorius Tinenti:
Harus dibedakan antara LARANGAN dan HALANGAN. Adanya LARANGAN karena (Misalnya: td dikatakan di atas perkawinan beda Gereja) masih adanya kesatuan dalam hal iman atau sama2 percaya pada Kristus. LARANGAN hanya butuh IZIN dari hierarki Gereja setempat (Uskup atau pastor paroki), sedangkan HALANGAN butuh DISPENSASI dari pengadilan Gereja. Disebut HALANGAN karena ada bahaya untuk meninggalkan iman. Sehingga dikatakan bahwa HALANGAN lebih berat dari pada LARANGAN.

--Deo Gratias--

‪#‎PojokKeluarga‬ ‪#‎OrangMudaKatolik‬ ‪#‎Pacaran‬ ‪#‎Pernikahan‬

Senin, 19 Agustus 2013

POJOK KATEKESE: Haid Bukan Penghalang Komuni


Membaca tulisan Romo tentang “Halangan Menerima Komuni” dalam Majalah HIDUP No. 24, 16 Juni 2013, saya ingin bertanya, apakah perempuan yang sedang datang bulan (haid) dilarang menerima komuni? Seringkali dikatakan bahwa “mereka yang mempunyai halangan, dilarang menerima komuni.” Suami saya selalu mengingatkan saya agar tidak menerima komuni ketika saya datang bulan.

Anita Shinta Dewi, Malang

Pertama, datang bulan atau haid tidak termasuk halangan untuk menerima komuni. Dalam pengumuman tentang “halangan menerima komuni”, kata “halangan” di sini merujuk kepada dosa-dosa berat yang harus dibersihkan dahulu sebelum yang bersangkutan menerima komuni, misalnya bercerai dan menikah lagi, perzinahan, pembunuhan, murtad, dll. Jadi, kata “halangan” ini tidak sama dengan ungkapan sehari-hari tentang perempuan yang sedang mendapat “halangan”.

Kedua, baik untuk disadari bahwa Gereja Katolik mempunyai pandangan yang sangat positif tentang seksualitas. Pandangan ini berbeda dengan pandangan agama lain. Misalnya, di pura-pura Hindu dituliskan “wanita yang sedang datang bulan, dilarang masuk”. Juga dalam pandangan agama Islam, ketika perempuan sedang datang bulan, maka puasanya dibatalkan. Pandangan seperti ini tidak ditemukan dalam ajaran Gereja Katolik. Malah sebaliknya, Gereja Katolik melihat seksualitas itu sebagai sesuatu yang suci, sehingga perkawinan disucikan menjadi salah satu dari tujuh sakramen. Cinta kasih antara suami dan istri menghadirkan cinta Kristus kepada Gereja-Nya (Ef 5:22-33).

Ketiga, kesucian seksualitas manusia dapat kita lihat pada Kitab Kejadian. Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan (Kej 1:27). Jadi perbedaan antara pria dan perempuan itu dikehendaki oleh dan berasal dari Allah sendiri. Ini berarti bahwa perbedaan seksual dan juga seksualitas itu sendiri adalah baik, bahkan “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” (Kej 1:31). Kesucian seksualitas ini dilukiskan dalam Kitab Kejadian dengan ungkapan “keduanya telanjang ... tetapi tidak merasa malu.” (Kej 2:25). Jadi, bisa dikatakan bahwa seksualitas itu suci karena berasal dari Allah dan akan tetap suci jika manusia menggunakannya sesuai dengan kehendak Allah. (bdk. HIDUP No 40, 2 Oktober 2011).

Seksualitas menjadi tidak suci, kotor, memalukan, ketika manusia menggunakannya tidak sesuai dengan kehendak Allah, tetapi mengikuti keinginan nafsunya sendiri. Situasi dosa inilah yang membuat seksualitas menjadi menjijikkan. Kitab Kejadian melukiskan keadaan manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa dengan ungkapan “malu dan takut” (Kej 3:10) karena mereka sadar bahwa mereka telanjang. Kesadaran akan ketelanjangan ini berarti bahwa manusia menyadari kehilangan kebebasannya, kehilangan penguasaan, dan pengendalian dirinya. Jadi, seksualitas dalam dirinya sendiri (Ing: in itself), bagi perempuan termasuk datang bulan, adalah suci. Yang mengotori seksualitas adalah dosa-dosa manusia.

Situasi berdosa (Ing: sinful) inilah yang banyak kita saksikan sekarang ini. Situasi ini tetap tidak membuat seksualitas itu in itself jahat atau jelek, asalkan digunakan sesuai dengan kehendak Allah. Maka kita perlu jeli membedakan antara, di satu pihak, seksualitas yang suci dan murni sebagai ciptaan Allah dan digunakan sesuai dengan kehendak Allah, dan di lain pihak, seksualitas yang kotor karena tindakan manusia yang melawan kehendak Allah atau berdosa.

Keempat, yang harus dipandang sebagai penghalang untuk menyambut komuni bukanlah peristiwa datang bulan, tetapi tindakan penggunaan seksualitas yang tidak selaras dengan kehendak Allah, misalnya perzinahan dan perceraian. Juga dosa-dosa berat lainnya menjadi halangan untuk menerima komuni. Dosa-dosa itulah yang harus dibersihkan dengan Sakramen Rekonsiliasi. Datang bulan bukan dosa, maka tidak perlu mengakukan dosa soal datang bulan.

Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM -HidupKatolik.com
--Deo Gratias--

DUA BERSAUDARA KEMBAR DARI CHILE YANG SELAMAT DARI ABORSI TELAH MENJADI IMAM



Dua bersaudara kembar di Chile mengatakan bahwa kegigihan ibu mereka untuk melindungi mereka dari aborsi, meskipun dokter telah menyarankan aborsi tersebut, membantu perkembangan panggilan imamat mereka.

"Bagaimana aku tidak dapat membela Allah dari kehidupan?" tutur Rm. Paulo Lizama. "Kejadian ini menguatkan panggilanku dan memberinya sebuah semangat yang spesifik, dan karenanya, aku dapat memberikan diriku secara eksistensial pada apa yang aku percaya."

"Aku yakin akan apa yang aku percayai, akan siapa aku dan akan apa yang aku berkata, jelas adalah karena rahmat Allah," ia menuturkan itu kepada Catholic News Agency (CNA)

Rm. Paulo dan saudara kembarnya yang identik, Rm. Felipe, lahir pada tahun 1984 di sebuah kota di Chile yang bernama Lagunillas de Casablanca.

Sebelum menyadari kehamilannya, ibu mereka, Rosa Silva, terpapar oleh sinar x-ray ketika menjalankan tugasnya sebagai paramedis. Akibatnya, setelah tahu bahwa ia mengandung, dokter yang memeriksanya melakukan pemeriksaan ultrasound dan memberitahukan kepadanya bahwa ada "sesuatu yang aneh" dalam gambar hasil pemeriksaan itu. "Bayi itu memiliki tiga lengan dan kakinya seperti terbelit. Dan ia memiliki dua kepala," kata dokter itu kepadanya.

Meskipun aborsi untuk alasan "terapis" merupakan sesuatu yang legal di Chile kala itu dan para dokter memberitahukan bahwa nyawanya berada dalam bahwa, Rosa menentang gagasan mereka dan berkata bahwa ia akan menerima apapun yang Tuhan akan kirimkan baginya.

"Tuhan bekerja dan memberi kehamilan kembar. Aku tidak tahu apakah dokter itu salah atau bagaimana," tutur Rm. Felipe. "Aku selalu merasakan kasih yang istimewa dan kelembutan dalam hati ibuku yang memberikan nyawanya bagiku, bagi kami," Rm. Paulo menambahkan.

Kedua bersaudara, Felipe dan Paulo, lahir pada tanggal 10 September 1984. Felipe lahir terlebih dahulu, dan ketika plasenta tidak dapat lepas, dokter menyarakankan untuk mengkuret rahimnya. Meskipun begitu, Rosa menolak, ia mengatakan bahwa ia dapat merasakan bahwa bayi yang lain akan keluar. Paulo lahir 17 menit kemudian.

"Detil terakhir ini sangat berarti bagiku," kata Rm. Paulo. "Dokter memasukkan alat untuk mengeluarkan plasenta karena tidak mau keluar. Ibuku tahu bahwa aku ada di sana. Aku terlambat, tapi aku akhirnya keluar." Jika dokter mengkuret rahim ibunya, ia mungkin akan "terluka parah."

Saudara kembar ini mengetahui bagaimana kejadian saat mereka dilahirkan ketika mereka berada dalam tahun keenam formasi mereka.

"Pastilah kebijaksanaan ibuku dan hatinya yang memampukan kami untuk mengetahui kejadian luar biasa tersebut pada waktunya," kata Rm. Paul merefleksikan bahwa ia selalu berpikir bahwa panggilan imamatnya muncul saat ia remaja, ia kemudian menyadari bahwa Allah telah bekerja di dalam hidupnya sejak awal, terima kasih akan jawaban 'YA' ibunya.

Meski mereka tumbuh dalam keluarga Katolik, dua bersaudara Lizama menjauh dari iman dan berhenti menghadiri Misa. Meski begitu, perpisahan orang tua mereka membawa mereka pulang kembali ke dalam Gereja dan mereka menerima Sakramen Penguatan (Krisma). Pada saat itu, Rm. Paulo mengatakan, ia tidak begitu yakin akan imannya tetapi ia begitu tertarik akan Sakramen Mahakudus, lagu Gregorian, dan doa dalam keheningan yang hormat.

Rm. Felipe berkata bahwa ia dibawa kepada Allah melalui seorang imam, Rm. Reinaldo Osorio, yang kemudian menjadi pembimbing formasinya di seminari. "Allah telah memanggilku. Aku menyadarinya bahwa di dalam Allah dan dalam segala hal tentang Allah aku bahagia, tidak ada keraguan: Aku ingin menjadi seorang imam," kenangnya.

Meski mereka dekat, kedua bersaudara ini tidak menceritakan panggilan itu satu sama lain. "Aku tidak tahu siapa yang terpanggil terlebih dahulu," kata Rm. Paulo. "Aku berpikir bahwa Allah melakukan hal-hal dengan tepat untuk menjaga kebebasan tanggapan kita."

Pada bulan Maret 2003, mereka berdua masuk seminari. Meski awalnya berat bagi keluarga untuk menerima keputusan mereka berdua, ibu mereka memberitahukan kepada mereka setelah tahun pertama formasi bahwa ia begitu damai, menyadari bahwa mereka juga bahagia akan panggilan mereka.

Dua bersaudara kembar ini ditahbiskan pada 28 April 2012 dan mempersembahkan Misa perdana mereka di Our Lady of Mercies di Lagunillas. Sekarang, setahun setelah tahbisan mereka, Rm. Felipe melayani di paroki St. Martinus dari Tours di Quillota, dan Rm. Paulo melayani di paroki Maria Assumpta di Achupallas. "Allah tidak sedang bermain-main dengan kita. Ia ingin agar kita bahagia, imamat adalah sebuah panggilan yang indah dan membuat kami benar-benar bahagia," kata Rm. Felipe.

"Mengikuti Yesus tidaklah mudah, tapi indah," Rm. Paulo menambahkan, "Yesus, Gereja, dan dunia membutuhkan kita," jelasnya. "Tetapi mereka tidak membutuhkan sembarang orang muda, melainkan mereka membutuhkan orang-orang muda yang disemangati oleh kebenaran Allah, sehingga hidup mereka menyampaikan kehidupan, senyuman mereka menyampaikan pengharapan, wajah mereka menyampaikan iman dan tindakan mereka menyampaikan kasih."

---

Keterangan Gambar:
Rm. Paulo Lizama dan Rm. Felipe Lizama

Sumber:
Catholic News Agency | http://www.catholicnewsagency.com/news/saved-from-abortion-chilean-twin-brothers-are-now-priests/

 
-- Veritas liberabit vos!