Selasa, 20 Agustus 2013

POJOK KELUARGA: Terlanjur Sayang Pacar Beda Iman

Photo: POJOK KELUARGA

Terlanjur Sayang Pacar Beda Iman

Romo Benny, saya wanita berusia 34 tahun. Sekarang, saya bingung karena telah menjalin hubungan erat dengan orang lain iman. Saya sadar, hubungan ini tidak mungkin bisa bersatu. Saya berusaha menghindar tapi saya menyayangi dia. Bagaimana Romo, apa yang harus saya lakukan? Terima kasih.

MN, Jakarta

Saudari MN yang terkasih.

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja jauh lebih terbuka pada agama lain dan para penganutnya (lih LG 15-16), namun hal ini sama sekali tidak mengecilkan nilai iman Katolik. Sebagai orang Katolik, kita perlu mencatat bahwa nilai iman Katolik tetap dijunjung tinggi dan umat Katolik diperingatkan oleh Bunda Gereja untuk tetap setia pada imannya (bdk LG 14). Hal ini bukan saja berlaku umum, namun juga harus mempengaruhi sampai pada perkara-perkara praktis seperti perkawinan beda agama yang mungkin sedang menjadi bahan pertimbangan Anda dalam menjalin relasi dengan orang yang berbeda iman tersebut.

Memang perasaan sayang sering membuai kita, sehingga kita tidak dapat melihat permasalahan dengan lebih jernih. Oleh karena itu, saya mengajak Anda untuk dengan tenang memikirkan baik-baik konsekuensi hubungan Anda dengan lelaki itu, jika bermuara pada perkawinan.

Perkawinan campur beda agama mengandung risiko yang besar pada penghayatan iman kita. Memang orang tidak serta-merta kehilangan imannya, namun penghayatan imannya bisa terganggu. Salah satu risiko adalah pemahaman tentang perkawinan itu sendiri. Bagi orang Katolik, perkawinan itu monogami dan tak terceraikan. Bagi orang beragama lain, belum tentu perkawinan dimaknai demikian. Jika suatu hari kelak ada persoalan besar, misalnya saja pasangan Anda ingin berpoligami, apakah kita dapat memaksakan nilai perkawinan Katolik pada pihak lain yang berbeda iman? Tentu tidak bisa dan tidak semudah itu. Hal ini bisa sangat menyulitkan perjalanan perkawinan Anda.

Sekarang, marilah kita berpikir lebih jauh lagi. Andaikan saja Anda berdua dianugerahi anak-anak, tentu sebagai orang Katolik yang baik kita diwajibkan untuk membaptis dan mendidik anak-anak dalam iman kita. Nah, sekarang, anak-anak itu milik siapa? Bukankah milik kalian berdua? Apakah pihak lain tidak boleh juga memasukkan dan mendidik anak-anak kalian dalam imannya? Kemudian siapa berhak atas siapa? Menjadi rumit, bukan?

Seandainya iman anak-anak diserahkan kepada Anda, tetap saja anak-anak membutuhkan suasana beriman yang kondusif, bukan? Bayangkan, ketika Anda bersama-sama merayakan kesyahduan malam Natal, ayah dari anak-anak ini tidak ada dan tidak mau merayakannya. Anak-anak pasti merasakan kehilangan besar.

Lalu, bagaimana Gereja memandang perkawinan campur? Secara hukum, Gereja menyatakan perkawinan campur beda Gereja sebagai larangan nikah (kan 1124), namun untuk perkawinan campur beda iman Gereja nyatakan sebagai halangan nikah (kan 1086). Secara hukum, halangan nikah lebih berat. Hukum Gereja melarang perkawinan beda Gereja, namun menghalangi perkawinan beda agama.

Nah, Saudari MN, demikianlah beberapa pemikiran yang perlu Anda pertimbangkan baik-baik sebelum mengambil keputusan yang amat penting dalam kehidupan Anda. Pemikiran ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam kelanjutan menjalin relasi dengan orang yang Anda sebutkan. Berdoalah kepada Allah Roh Kudus, Sang Sumber Kebijaksanaan, agar Ia membimbing Anda dalam membuat keputusan yang bijaksana. Tuhan Yesus memberkati!

Pastor Dr Benny Phang OCarm - HidupKatolik.com

Tambahan Penjelasan oleh Bapak H Gregorius Tinenti:
Harus dibedakan antara LARANGAN dan HALANGAN. Adanya LARANGAN karena (Misalnya: td dikatakan di atas perkawinan beda Gereja) masih adanya kesatuan dalam hal iman atau sama2 percaya pada Kristus. LARANGAN hanya butuh IZIN dari hierarki Gereja setempat (Uskup atau pastor paroki), sedangkan HALANGAN butuh DISPENSASI dari pengadilan Gereja. Disebut HALANGAN karena ada bahaya untuk meninggalkan iman. Sehingga dikatakan bahwa HALANGAN lebih berat dari pada LARANGAN.

--Deo Gratias--

#PojokKeluarga #OrangMudaKatolik #Pacaran #Pernikahan

Romo Benny, saya wanita berusia 34 tahun. Sekarang, saya bingung karena telah menjalin hubungan erat dengan orang lain iman. Saya sadar, hubungan ini tidak mungkin bisa bersatu. Saya berusaha menghindar tapi saya menyayangi dia. Bagaimana Romo, apa yang harus saya lakukan? Terima kasih.

MN, Jakarta

Saudari MN yang terkasih.

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja jauh lebih terbuka pada agama lain dan para penganutnya (lih LG 15-16), namun hal ini sama sekali tidak mengecilkan nilai iman Katolik. Sebagai orang Katolik, kita perlu mencatat bahwa nilai iman Katolik tetap dijunjung tinggi dan umat Katolik diperingatkan oleh Bunda Gereja untuk tetap setia pada imannya (bdk LG 14). Hal ini bukan saja berlaku umum, namun juga harus mempengaruhi sampai pada perkara-perkara praktis seperti perkawinan beda agama yang mungkin sedang menjadi bahan pertimbangan Anda dalam menjalin relasi dengan orang yang berbeda iman tersebut.

Memang perasaan sayang sering membuai kita, sehingga kita tidak dapat melihat permasalahan dengan lebih jernih. Oleh karena itu, saya mengajak Anda untuk dengan tenang memikirkan baik-baik konsekuensi hubungan Anda dengan lelaki itu, jika bermuara pada perkawinan.

Perkawinan campur beda agama mengandung risiko yang besar pada penghayatan iman kita. Memang orang tidak serta-merta kehilangan imannya, namun penghayatan imannya bisa terganggu. Salah satu risiko adalah pemahaman tentang perkawinan itu sendiri. Bagi orang Katolik, perkawinan itu monogami dan tak terceraikan. Bagi orang beragama lain, belum tentu perkawinan dimaknai demikian. Jika suatu hari kelak ada persoalan besar, misalnya saja pasangan Anda ingin berpoligami, apakah kita dapat memaksakan nilai perkawinan Katolik pada pihak lain yang berbeda iman? Tentu tidak bisa dan tidak semudah itu. Hal ini bisa sangat menyulitkan perjalanan perkawinan Anda.

Sekarang, marilah kita berpikir lebih jauh lagi. Andaikan saja Anda berdua dianugerahi anak-anak, tentu sebagai orang Katolik yang baik kita diwajibkan untuk membaptis dan mendidik anak-anak dalam iman kita. Nah, sekarang, anak-anak itu milik siapa? Bukankah milik kalian berdua? Apakah pihak lain tidak boleh juga memasukkan dan mendidik anak-anak kalian dalam imannya? Kemudian siapa berhak atas siapa? Menjadi rumit, bukan?

Seandainya iman anak-anak diserahkan kepada Anda, tetap saja anak-anak membutuhkan suasana beriman yang kondusif, bukan? Bayangkan, ketika Anda bersama-sama merayakan kesyahduan malam Natal, ayah dari anak-anak ini tidak ada dan tidak mau merayakannya. Anak-anak pasti merasakan kehilangan besar.

Lalu, bagaimana Gereja memandang perkawinan campur? Secara hukum, Gereja menyatakan perkawinan campur beda Gereja sebagai larangan nikah (kan 1124), namun untuk perkawinan campur beda iman Gereja nyatakan sebagai halangan nikah (kan 1086). Secara hukum, halangan nikah lebih berat. Hukum Gereja melarang perkawinan beda Gereja, namun menghalangi perkawinan beda agama.

Nah, Saudari MN, demikianlah beberapa pemikiran yang perlu Anda pertimbangkan baik-baik sebelum mengambil keputusan yang amat penting dalam kehidupan Anda. Pemikiran ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam kelanjutan menjalin relasi dengan orang yang Anda sebutkan. Berdoalah kepada Allah Roh Kudus, Sang Sumber Kebijaksanaan, agar Ia membimbing Anda dalam membuat keputusan yang bijaksana. Tuhan Yesus memberkati!

Pastor Dr Benny Phang OCarm - HidupKatolik.com

Tambahan Penjelasan oleh Bapak H Gregorius Tinenti:
Harus dibedakan antara LARANGAN dan HALANGAN. Adanya LARANGAN karena (Misalnya: td dikatakan di atas perkawinan beda Gereja) masih adanya kesatuan dalam hal iman atau sama2 percaya pada Kristus. LARANGAN hanya butuh IZIN dari hierarki Gereja setempat (Uskup atau pastor paroki), sedangkan HALANGAN butuh DISPENSASI dari pengadilan Gereja. Disebut HALANGAN karena ada bahaya untuk meninggalkan iman. Sehingga dikatakan bahwa HALANGAN lebih berat dari pada LARANGAN.

--Deo Gratias--

‪#‎PojokKeluarga‬ ‪#‎OrangMudaKatolik‬ ‪#‎Pacaran‬ ‪#‎Pernikahan‬

0 komentar:

Posting Komentar