Senin, 19 Agustus 2013

POJOK KATEKESE: Haid Bukan Penghalang Komuni


Membaca tulisan Romo tentang “Halangan Menerima Komuni” dalam Majalah HIDUP No. 24, 16 Juni 2013, saya ingin bertanya, apakah perempuan yang sedang datang bulan (haid) dilarang menerima komuni? Seringkali dikatakan bahwa “mereka yang mempunyai halangan, dilarang menerima komuni.” Suami saya selalu mengingatkan saya agar tidak menerima komuni ketika saya datang bulan.

Anita Shinta Dewi, Malang

Pertama, datang bulan atau haid tidak termasuk halangan untuk menerima komuni. Dalam pengumuman tentang “halangan menerima komuni”, kata “halangan” di sini merujuk kepada dosa-dosa berat yang harus dibersihkan dahulu sebelum yang bersangkutan menerima komuni, misalnya bercerai dan menikah lagi, perzinahan, pembunuhan, murtad, dll. Jadi, kata “halangan” ini tidak sama dengan ungkapan sehari-hari tentang perempuan yang sedang mendapat “halangan”.

Kedua, baik untuk disadari bahwa Gereja Katolik mempunyai pandangan yang sangat positif tentang seksualitas. Pandangan ini berbeda dengan pandangan agama lain. Misalnya, di pura-pura Hindu dituliskan “wanita yang sedang datang bulan, dilarang masuk”. Juga dalam pandangan agama Islam, ketika perempuan sedang datang bulan, maka puasanya dibatalkan. Pandangan seperti ini tidak ditemukan dalam ajaran Gereja Katolik. Malah sebaliknya, Gereja Katolik melihat seksualitas itu sebagai sesuatu yang suci, sehingga perkawinan disucikan menjadi salah satu dari tujuh sakramen. Cinta kasih antara suami dan istri menghadirkan cinta Kristus kepada Gereja-Nya (Ef 5:22-33).

Ketiga, kesucian seksualitas manusia dapat kita lihat pada Kitab Kejadian. Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan (Kej 1:27). Jadi perbedaan antara pria dan perempuan itu dikehendaki oleh dan berasal dari Allah sendiri. Ini berarti bahwa perbedaan seksual dan juga seksualitas itu sendiri adalah baik, bahkan “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” (Kej 1:31). Kesucian seksualitas ini dilukiskan dalam Kitab Kejadian dengan ungkapan “keduanya telanjang ... tetapi tidak merasa malu.” (Kej 2:25). Jadi, bisa dikatakan bahwa seksualitas itu suci karena berasal dari Allah dan akan tetap suci jika manusia menggunakannya sesuai dengan kehendak Allah. (bdk. HIDUP No 40, 2 Oktober 2011).

Seksualitas menjadi tidak suci, kotor, memalukan, ketika manusia menggunakannya tidak sesuai dengan kehendak Allah, tetapi mengikuti keinginan nafsunya sendiri. Situasi dosa inilah yang membuat seksualitas menjadi menjijikkan. Kitab Kejadian melukiskan keadaan manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa dengan ungkapan “malu dan takut” (Kej 3:10) karena mereka sadar bahwa mereka telanjang. Kesadaran akan ketelanjangan ini berarti bahwa manusia menyadari kehilangan kebebasannya, kehilangan penguasaan, dan pengendalian dirinya. Jadi, seksualitas dalam dirinya sendiri (Ing: in itself), bagi perempuan termasuk datang bulan, adalah suci. Yang mengotori seksualitas adalah dosa-dosa manusia.

Situasi berdosa (Ing: sinful) inilah yang banyak kita saksikan sekarang ini. Situasi ini tetap tidak membuat seksualitas itu in itself jahat atau jelek, asalkan digunakan sesuai dengan kehendak Allah. Maka kita perlu jeli membedakan antara, di satu pihak, seksualitas yang suci dan murni sebagai ciptaan Allah dan digunakan sesuai dengan kehendak Allah, dan di lain pihak, seksualitas yang kotor karena tindakan manusia yang melawan kehendak Allah atau berdosa.

Keempat, yang harus dipandang sebagai penghalang untuk menyambut komuni bukanlah peristiwa datang bulan, tetapi tindakan penggunaan seksualitas yang tidak selaras dengan kehendak Allah, misalnya perzinahan dan perceraian. Juga dosa-dosa berat lainnya menjadi halangan untuk menerima komuni. Dosa-dosa itulah yang harus dibersihkan dengan Sakramen Rekonsiliasi. Datang bulan bukan dosa, maka tidak perlu mengakukan dosa soal datang bulan.

Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM -HidupKatolik.com
--Deo Gratias--

1 komentar: